Oleh: Hanifah Dhiya Kahla, Syabina Julianti, Fajri Ramadhani
ecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Indonesia — Selama enam minggu penuh, sejak 18 April hingga 4 Juni 2025, kami berkesempatan tinggal bersama Masyarakat Adat Dayak Simpakng Banua Sajatn di Desa Paoh Concong untuk meneliti diversitas ikatan biokultural mereka.
Pada awalnya, masyarakat Dayak Simpakng bermukim di suatu tempat bernama Tamakng Rawakng. Namun, akibat overpopulasi dan perebutan sumber daya yang semakin sengit, mereka memutuskan untuk bermigrasi dan membuka wilayah baru di Sajatn. Kehidupan di wilayah tersebut tidak berlangsung lama karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda saat itu mengganggu ketenteraman mereka. Akhirnya, mereka berpindah ke wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Paoh Concong.
Nama desa ini terinspirasi dari kisah tragis seorang pemuda yang meninggal karena tersedak concong (keong sawah) di bawah pohon asam paoh saat berlangsungnya acara pernikahan. Sebelum agama Katolik masuk sekitar tahun 1950-an dan Protestan pada 1970-an, masyarakat Dayak Simpakng telah memiliki sistem kepercayaan kepada Jubata (dewa/leluhur) yang dianggap sebagai pencipta dan penjaga alam semesta.
Saat ini, Desa Paoh Concong terbagi menjadi enam kampung, yaitu Lalang, Lotong, Baram, Serua, Selirang, dan Kelipor. Wilayah desa juga terdiri atas beberapa ruang hidup: tamaakng (hutan bekas kampung tua), jamih (bekas ladang), bamu ranah (sawah), kebun, Tonah Colap, pasar, Rima Magokng, serta wilayah keramat.
Mengikuti aktivitas dan mendengar cerita masyarakat membuka mata kami terhadap kekayaan keanekaragaman hayati dan praktik budaya di Paoh Concong. Di jamih atau dapur hidup, kami biasa ikut memetik berbagai tanaman sayur dan buah untuk dimasak, sambil menemani kakek mengupas tebu dengan susah payah demi mendapatkan airnya. Di sawah, padi tumbuh sebagai sumber pangan utama. Sementara itu, tamaakng menyediakan pohon buah-buahan, tanaman bahan anyaman, material furnitur rumah, hingga hewan buruan. Sungai pun menjadi sumber penghidupan, tempat keluarga menangkap ikan dengan berbagai alat seperti pancing (pengail), jaring (pukat), perangkap keranjang (nango), bahkan menyelam.
Beragam tanaman obat juga tumbuh di sekitar permukiman dan dimanfaatkan para dukun dalam pengobatan tradisional. Dahulu, karet menjadi komoditas ekonomi utama, namun sejak masuknya sawit pada tahun 2011, masyarakat beralih menanam sawit. Saat ini, hanya sedikit lahan karet yang tersisa karena menoreh pohon karet dianggap melelahkan dan hasilnya sangat bergantung pada cuaca. Penanaman sawit dilakukan dengan menebang dan membakar bekas ladang padi untuk mendapatkan pupuk alami.
Selain lahan subsisten, masyarakat juga menjaga wilayah-wilayah penting seperti Tonah Colap, yang merupakan sumber mata air dengan pohon-pohonnya yang tidak boleh ditebang, serta wilayah keramat Kelipor sebagai lokasi ritual adat. Upaya pelestarian ini berpijak pada prinsip keseimbangan antara manusia, alam, dan Jubata, yang diwujudkan dalam ritual tahunan bernama Nyapat Tautn. Ritual ini bukan hanya sebagai ungkapan syukur, tetapi juga sebagai bentuk penebusan dan permohonan maaf kepada Jubata.
Namun, ruang hidup yang kaya akan keanekaragaman hayati dan praktik budaya ini kini menghadapi tantangan akibat masuknya perusahaan-perusahaan luar yang mengeksploitasi lahan masyarakat. Kami mendengar cerita dari Pak Jono, seorang warga Kelipor, yang lahannya seluas delapan hektare—yang sedianya akan ditanami padi—digusur sepihak oleh PT HTI Mayawana Persada untuk penanaman pohon akasia. Ia mengaku kecewa dan marah karena belum menerima ganti rugi maupun kejelasan dari perusahaan sejak proyek dimulai tahun lalu hingga kini.
Hidup bersama masyarakat Dayak Simpakng menunjukkan bahwa konservasi alam dan ikatan biokultural dapat berjalan selaras. Konsep ini terwujud melalui pengetahuan lokal, tradisi, dan spiritualitas yang terus dipraktikkan hingga hari ini dalam menjaga hubungan antara manusia dan alam. Pengalaman ini menyadarkan kami bahwa di tengah perubahan zaman, adat bukanlah sesuatu yang statis. Justru, kekuatan mereka terletak pada kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Kami berharap kisah ini menggugah kesadaran banyak pihak akan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengakuan ini bukan semata bentuk keadilan, tetapi juga upaya pemberdayaan agar mereka tetap menjadi aktor utama dalam pelestarian alam dan budaya.










