Dalam rangka memperkuat jejaring akademik dan advokasi masyarakat adat di Asia Tenggara, Departemen Antropologi Universitas Indonesia bersama Ateneo de Manila University, Ateneo de Davao University, dan komunitas adat dari Indonesia dan Filipina menyelenggarakan program kolaboratif lintas negara pada 20–24 Februari 2025. Program ini bertujuan menggali perbandingan pengalaman dalam pengakuan politik dan hukum terhadap masyarakat adat, serta mendorong pertukaran pengetahuan antara akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas akar rumput. Kegiatan diawali dengan diskusi meja bundar bersama Legal Resource Center (LRC) di Manila, yang membahas penerapan hukum masyarakat adat di Filipina (IPRA) dibandingkan dengan stagnasi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia sejak 2017.
Diskusi dan kunjungan lapangan di Davao—termasuk ke komunitas adat Bagobo Tagabawa dan Lorega—menghadirkan refleksi mendalam atas tantangan pengakuan hak tenurial masyarakat adat di tengah tumpang tindih yurisdiksi, tekanan industri ekstraktif, serta lemahnya mekanisme persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) di Indonesia. Kolaborasi dengan akademisi dari Ateneo de Davao University juga menekankan peran strategis lembaga pendidikan tinggi dalam mendokumentasikan sistem adat dan memperkuat posisi hukum komunitas. Dialog lintas konteks ini menunjukkan bahwa meskipun Filipina memiliki kerangka hukum yang lebih formal, kedua negara tetap menghadapi tantangan struktural dalam melindungi hak dan otonomi masyarakat adat.
Program ini juga memperkuat dimensi etnografis dan solidaritas lintas batas melalui pemutaran film dokumenter komunitas Punan dari Kalimantan dan partisipasi langsung pemimpin adat Manobo selama seluruh rangkaian acara. Dari pengalaman lapangan ini, berbagai agenda lanjutan pun disusun, termasuk penyelenggaraan konferensi bersama di UI tahun 2026 serta pengembangan publikasi kebijakan bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Melalui dukungan Samdhana Institute, kolaborasi ini tidak hanya menjadi medium pertukaran akademik, tetapi juga membangun landasan bersama menuju advokasi berbasis etika dan keadilan ekologis bagi masyarakat adat di Asia Tenggara.




