The Heart of Borneo: Potensi Masyarakat Pa’Kinayeh di Tengah Rimba Kalimantan Utara

Oleh: Atallah Rania Insyira, Farid Ibnu Zakaria, Siti Nurmalasari

Malinau, Kalimantan Utara — Menyusuri sungai biasanya menjadi aktivitas wisata, tetapi bagi kami, perjalanan dengan long boat di atas Sungai Mentarang adalah awal dari riset RIMBAHARI (Research Initiatives on Management of Biocultural Heritage and Resilient Innovations) di Wilayah Adat Besar Pa’Kinayeh, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Nama Pa’Kinayeh berasal dari kata Apa’ (sungai) dan Kinayeh (sebutan lokal untuk Sungai Mentarang). Wilayah ini menjadi tulang punggung transportasi karena belum tersambung jaringan jalan darat. Warga menggunakan ketinting (perahu kecil bermesin) atau long boat untuk mobilitas antar desa.

Selama 46 hari (11 April – 4 Juni 2025), kami tinggal di empat desa: Harapan Maju, Lung Barang, Lung Simau, dan Lung Semamu. Penelitian ini berfokus pada hubungan biokultural dan keanekaragaman hayati yang hidup di kawasan tersebut.

Dikelilingi hutan Kalimantan yang lebat, masyarakat adat Pa’Kinayeh sangat bergantung pada alam. Gaharu menjadi “emas hutan” yang menopang ekonomi lokal, sementara ladang gunung menyediakan kebutuhan pangan subsisten. Warga juga menanam buah-buahan, banyak di antaranya tumbuh secara alami dari benih yang tersebar oleh burung atau sisa konsumsi.Hutan bagi mereka bukan sekadar sumber daya, melainkan ruang hidup. Sungai dimanfaatkan untuk transportasi, mandi, mencuci, menangkap ikan, dan bersosialisasi. Hutan menyediakan kayu, bahan bangunan, serta tanaman obat yang potensinya belum sepenuhnya terungkap.

Namun, harmoni ini menghadapi tekanan dari pembangunan. Sejak peresmian mega proyek bendungan oleh Presiden Joko Widodo pada 2023, masyarakat menghadapi relokasi besar-besaran ke kawasan Seboyo di Desa Harapan Maju. Mereka kini hidup di rumah-rumah klaster yang padat, dengan lahan terbatas, perubahan pola pangan, dan belum terpenuhinya janji-janji perusahaan.

Kami mendokumentasikan berbagai pertemuan antara masyarakat dan pihak perusahaan—kebanyakan belum membuahkan kesepakatan. Warga berharap ada tindak lanjut nyata yang menjawab keresahan mereka. Di akhir perjalanan, kami menyadari: kedekatan masyarakat dengan alam membentuk ritme hidup yang khas dan berkelanjutan. Perubahan memang tak terhindarkan, tapi siapa yang mendefinisikan apakah perubahan itu baik? Semoga pada riset selanjutnya, kami dapat menggali lebih jauh bagaimana masyarakat adat Pa’Kinayeh melanjutkan kehidupan setelah transisi besar ini.

Related Posts